12.02.2013

GURU DIDEN


Menguji kesaktian Guru Diden di tanah Karo (Legenda)
     

Salah satu dari mereka berkata “Sebaiknya kita adu ilmu saja, kita bertujuh dengan guru dari Karo itu !“.  Sontak salah satu orang yang ada di pertemuan itu sangat gusar. Saat itu memang sedang dilakukan sebuah pertemuan, sebuah pertemuan yang dilakukan secara mendadak. Bukan sembarang pertemuan. Tapi pertemuan yang dilakukan oleh tujuh orang-orang sakti di negeri Pakpak. Ketujuh orang sakti ini disebut warga sebagai Guru Pakpak Pitu Sedalanen. Di negeri Pakpak mereka semua dikabarkan memiliki ilmu yang sangat tinggi, sangat sakti, sangat disegani dan bahkan juga sangat ditakuti. Tapi apa hendak mau dikata, mereka semua gusar saat mengetahui ada kabar berita yang katanya ada orang yang juga sangat sakti di negeri seberang sana. Seorang guru sakti di tanah Karo, Guru Diden namanya. Ketujuh Guru Pakpak Pitu Sedalanen ini merasa penasaran dan juga tersaingi. Karena berita kesaktian guru Karo ini dengan cepat tersebar luas, padahal lokasi tanah Karo dan negeri Pakpak sendiri bisa ditempuh dengan cara berjalan kaki selama berhari-hari.

Guru Diden, yang membuat penasaran dan gusar banyak orang, tinggal di desa Raja Tengah, Tanah Karo. Dia ditemani oleh seorang istri. Sudah banyak cerita mengenai kesaktian guru dari Karo ini. Ada yang mengatakan bila sang guru dapat mengobati segala macam penyakit, menolak bala dan kutukan, menguasai berbagai macam ilmu mistik hingga dapat meramal masa depan termasuk menentukan suatu hari itu baik atau buruk. Banyak penduduk di desa Raja Tengah yang mendengar wejangan dan arahan dari sang guru. Bila ada petani yang ingin menanam padi, sang guru dapat menentukan hari tanam yang baik. Termasuk juga mengusir hama maupun roh-roh jahat yang mengganggu petani mengolah sawahnya.

Kembali ke pertemuan orang-orang sakti di negeri Pakpak. Nampaknya para Guru Pitu Sedalenan sudah sangat “gatal”. Hingga akhirnya sebuah mufakat tercapai sudah. Mereka memutuskan sesegera mungkin berangkat ke Tanah Karo, dengan hanya satu tujuan. Menguji tingkat kesaktian sang Guru Diden. Siapa yang lebih sakti, guru dari Karo atau mereka bertujuh yang berasal dari Pakpak. Dengan kaki telanjang mereka berjalan kaki menempuh waktu berhari-hari dalam perjalanan menuju tanah Karo. Mereka bertujuh pun sepakat tidak akan membocorkan niat mereka untuk mengadu ilmu dengan Guru Diden, kepada siapapun yang mereka temui dalam perjalanan hingga sampai di Tanah Karo. Hasrat dan rasa penasaran yang meluap-luap kepada Guru Diden, seorang guru yang mereka dengar sangat sakti, meskipun mereka bertujuh belum pernah sama sekali bertemu dengan sosoknya.

Setelah menempuh waktu beberapa hari, meninggalkan kampung halamannya, menembus dinginnya pagi dan pekatnya malam. Maka tibalah Guru Pakpak Pitu Sedalenan di bumi Karo. Mereka tidak tahu bila perjalanan mereka sudah sampai di desa Raja Tengah, desa di mana sang Guru Diden yang mereka cari tinggal. Bahkan mereka pun tidak tahu bila orang yang berpapasan dengan mereka di jalan adalah Guru Diden. Guru Diden sendiri yang berpapasan dengan mereka tahu bila ketujuh orang yang baru dijumpainya ini bukan berasal dari kampungnya. Terlihat jelas olehnya, ketujuh musafir ini telah melakukan perjalanan yang panjang dan sangat kelelahan. Dengan ramah Guru Diden menegur mereka dan langsung mengundangnya untuk singgah ke rumahnya untuk sekedar melepaskan rasa letih dan dahaga. Jelas ketujuh guru sakti itu tak menampik tawaran yang ramah itu.

Tibalah mereka semua di rumah Guru Diden, rumah yang indah dan rindang yang juga banyak dikelilingi oleh banyak pohon-pohon kelapa. Pohon-pohon kelapa yang buahnya masih hijau, yang sangat mengundang selera.  Karena sangat kehausan maka salah seorang dari guru Pakpak itu meminta agar tuan rumah memberikan kelapa muda untuk melepas haus dahaganya. “Tolonglah turunkan tujuh tandan kelapa muda itu. “ ujar salah satu dari mereka. Lantas sambil keheranan Guru Diden kembali bertanya “Untuk apa kelapa muda sampai tujuh tandan ?  Tujuh buah saja cukup untuk kalian semua”. Mungkin karena mereka sangat kehausan, salah satu dari Guru Pakpak Pitu Sedalanen ngotot, “Tujuh buah tidak cukup untuk kami. Turunkanlah tujuh tandan, kami sangat haus.“

Malas untuk berdebat lagi, maka Guru Diden menuruti nafsu para tamunya. Diturunkanlah tujuh tandan kelapa muda itu dan dijamunya kelapa muda itu kepada ketujuh musafir yang tengah kehausan, merindukan berliter-liter air mengalir di tenggorokannya. Masing-masing musafir tersebut mendapatkan satu buah kelapa muda. Namun ternyata terjadi sebuah keanehan. Ketika air kelapa itu diminum ternyata tak satu pun dari mereka yang sanggup menghabiskan satu pun kelapa muda itu. Setiap air kelapa yang telah mereka minum ternyata bertambah kembali. Air kelapa tak habis-habis. Guru Pakpak Pitu Sedalenan pun bingung. Apa soal, ternyata pada saat itu Guru Diden sudah menggunakan kesaktiannya, sehingga air kelapa tak habis habis.

Saat mereka kebingungan, akhirnya berkatalah Guru Diden. “Tadi kan sudah kubilang, tujuh buah kelapa saja sudah cukup. Tapi kalian malah minta tujuh tandan.” Sambil berkata kesal Guru Diden pun berdiri dan menyepak semua kelapa muda yang belum sempat dilepaskan dari tandannya. Anehnya, kelapa itu melompat dan terbang melekat kembali pada tempatnya semula, pada pucuk pohon kelapa yang tinggi. Terkejutlah ketujuh tamu yang diundang, ternyata tuan rumah yang tengah menjamunya juga memiliki kesaktian. Setelah melihat ini, semakin banyak pula permintaan dari Guru Pitu Sedalanen. Mungkin karena penat dan kepanasan setelah menempuh perjalanan berhari-hari. Mereka pun meminta hujan, tak setengah hati Guru Diden pun menurunkan hujan yang sangat lebat. Bahkan hujan pun berhenti ketika saat malam tiba.

Hujan deras yang berhenti saat malam telah larut, yang akhirnya membuat Guru Diden menyarankan agar ketujuh tamunya ini menginap semalam, sebelum besok meneruskan perjalannya kembali. Sekali lagi para musafir jelas susah menolaknya. Namun lancang kali para Guru Pakpak Pitu Sedalanen, mereka kembali minta dijamu oleh tuan rumah. Tak tanggung-tanggung dimasakkan nasi dalam tujuh periuk nasi untuk mereka bertujuh. Masing-masing akan mendapatkan porsi satu periuk nasi. Sudah sangat malas Guru Diden bertanya dan berdebat kembali, dan sebagai tuan rumah yang baik dia meminta istrinya untuk segera memasakkan nasi dalam tujuh buah periuk itu.

Mungkin guru dari Karo ini juga kesal kok tidak jera-jeranya para tamunya ini. Namun tujuh nasi dalam tujuh periuk yang berbeda akhirnya disediakan. Tak ubahnya dengan air kelapa tadi maka berapa pun banyaknya nasi yang mereka makan keadaannya tak berkurang sedikit pun. Tak berubah jumlah butir-butir nasi yang mereka makan  dengan posisi saat awal nasi dalam periuk disajikan. Pada saat ini beberapa dari Guru Pitu Sedalanen sudah merasa curiga jangan-jangan tuan rumah yang menjamu mereka ini adalah sosok yang sedang mereka cari, yaitu Guru Diden.

Setelah selesai bersantap makan malam, memakan nasi dari tujuh periuk yang nasinya tak habis-habisnya. Mereka saling ngobrol tentang kisah perjalanan dan niat mereka. Setelah mendengar niat dari Guru Pitu Sedalenan, Guru Diden dengan tenang namun tegas berkata, “Akulah Guru Diden yang sedang kalian cari itu. Kalau kalian memang mau mengadu kesaktian dengan aku, sebaiknya besok saja kita lakukan. Karena kalian sudah capek, sebaiknya kalian tidur dulu.“ Terkejutlah ketujuh musafir dari Pakpak ini. Saat hendak beranjak tidur pun mereka susah untuk memejamkan mata barang sedikit pun. Pikiran mereka semua berkelebat seperti apa pertarungan ilmu yang akan mereka lakukan esok harinya. Bayangkan saja kelapa ditendangnya bisa kembali ke pucuk pohon, hujan pun bisa diturunkannya. Kesaktian apa lagi yang akan ditunjukkan oleh Sang Guru Diden, si sakti dari dataran bumi Karo.

Hari yang ditunggu pun tiba. Saat surya “memanggil” dan setelah selesai bersantap makan pagi. Guru Diden mengajak para Guru Pakpak Pitu Sedalanen berjalan-jalan melihat keadaan di sekeliling desa, sampai berjalan menuju ke tempat yang paling tepat untuk beradu ilmu. Tibalah mereka di tempat itu. Guru Diden mengajak Guru Pakpak Pitu Sedalanen ke lokasi yang tanahnya terdapat tujuh lobang di atas tanah. Di dalam tujuh lobang itu terdapat tujuh buah telur ayam. Kemudian Guru Diden meminta agar ketujuh guru tersebut masing-masing mengambil telur yang terdapat di dalam lobang tersebut. Sambil tertawa, jelas ketujuh guru dari Pakpak ini kembali memandang enteng tantangan yang diberikan oleh Guru Diden. Dengan sigap dan ligat mereka masing-masing memasukkan tangannya ke dalam lobang dan berupaya mengambil telur ayam. Tapi apa yang terjadi, ternyata tangan mereka semua tidak bisa lepas kembali dari lobang tanah itu. Lobang di tanah itu tiba-tiba seperti mengecil dan mencengkram erat ketujuh tangan para guru-guru ini. Semakin berupaya mereka mengeluarkan tangannya, semakin erat pula cengkeraman lobang dari tanah itu. Akhirnya salah satu dari para guru Pakpak yang merupakan pemimpin mereka itu berteriak dan menjerit, “Guru Diden, kami bertujuh mengaku kalah. Kami mengakui kesaktianmu lebih hebat dari pada kami semua. Kami menyerah.”

Lantas apa kata Guru Diden. Dia hanya berkata dengan tenang dan perlahan,“ Aku hanya orang biasa saja. Dan aku tidak pernah bermaksud mengadu kesaktian dengan siapapun juga. Karena kesaktian dan ilmu tidak berarti apa apa.” Setelah berkata itu, sang guru pun memanggil seekor burung elang, dan menyuruh burung elang itu terbang ke negeri asal Guru Pakpak Pitu Sedalanen, jauh ke negeri Pakpak. Dengan maksud agar seluruh orang di negeri Pakpak diberitahu bila Guru Pitu Sedalenan sudah menyerah kalah ilmunya oleh Guru Diden. Dasar baik hatinya Guru Diden, maka atas perasaan yang tidak tega, akhirnya Guru Diden dengan kesaktiannya melepaskan ketujuh tangan guru yang telah menyerah tadi. Tapi apa yang terjadi, setelah ketujuh tangan itu tercabut. Tersemburlah air yang memancar sangat deras dari ketujuh lobang itu. Air terus menerus memancar dan mengalir. Kabarnya ketujuh mata air itu sampai sekarang masih terdapat di tanah Karo. Tempat yang orang-orang percayai pernah terjadinya adu ilmu antara Guru Diden dan Guru Pakpak Pitu Sedalanen.
)* Chris Poerba

Dimuat di Majalah TAPIAN bulan Mei 2009

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...