10.11.2010

Zat-zat kimia di dlm makanan dan di sekitar kita



Title: Zat-zat kimia di dlm makanan dan di sekitar kita
MSG (Monosodium Glutamat)


MSG sering ditambahkan pada daging, tahu, tempe, ikan segar sebelum diolah. Bahkan secara alami juga terdapat pada sejumlah makanan. Tomat, jagung, telur, ikan, dan daging ialah beberapa di antaranya. Ia juga terdapat pada makanan olahan.

Selain itu, pada makanan beku, makanan kaleng, makanan instan, dan beberapa minuman kemasan juga mengandung MSG dengan kadar beragam. MSG tidak hanya ada pada produk makanan dan minuman kemasan atau olahan seperti saus, keju, dan yogurt. Pada bahan makanan segarpun MSG sering ditemukan.

Berapa sebetulnya batas aman vetsin bagi tubuh manusia? Menurut Badan Kesehatan Sedunia (WHO) asupan MSG per hari yang disarankan ialah sekitar 0-120 mg/kg berat badan.

Jadi, jika berat seseorang 50 kg, maka konsumsi MSG yang aman menurut perhitungan tersebut 6 gr (kira-kira 2 sendok teh) per hari. Rumus ini hanya berlaku pada orang dewasa. WHO tidak menyarankan penggunaan MSG pada bayi di bawah 12 minggu.

Rambu-rambu itulah agaknya yang ingin disiasati produsen. Bagaimanapun, MSG membuat makanan lebih gurih dan nikmat.

Di Indonesia, produk-produk berlabel bebas vetsin atau bebas MSG mulai banyak beredar. Label itu banyak terdapat pada biskuit dan penyedap rasa.

Tapi benarkah produk itu benar-benar bebas MSG, butuh pengamatan lebih lanjut. Konsumen sebenarnya bisa melakukan beberapa langkah sederhana untuk mengetahuinya. Antara lain dengan meneliti produk yang diklaim bebas MSG itu. Bila dalam labelnya terdapat kata-kata autolyzed yeast, hydrolyzed soy protein, atau sodium caseinate, maka artinya produk tersebt mengandung MSG.

Selain kata hydrolyzed, cek pula kata amino acid. Sebab, asam amino juga sering menjadi samaran untuk menutupi keberadaan MSG dalam suatu produk.

Penyedap rasa yang diproduksi di Indonesia umumnya merupakan hasil gula tetes tebu (molase). Gula tetes yang banyak mengandung glutamin itu diproses sedemikian rupa hingga mengeluarkan asam glutamat. Pada produk penyedap rasa terdapat sekitar 40 persen MSG.

Vetsin lantas juga dibuat dalam berbagai bentuk yang memudahkan pemakaiannya. Ada yang berbentuk bubuk, cair, maupun padat. Bentuk bubuk ada yang menyerupai butiran garam ada pula yang seperti tepung. Namun, fungsi dasarnya tetap sama, menyedapkan masakan.

Sebenarnya, tidak terlalu berbahaya mengonsumsi MSG, asal tidak terlalu sering dan 'obral' dalam pemakaiannya. Apalagi, kini MSG juga telah dimodifikasi menjadi kaldu instan. Yang banyak beredar ialah penyedap rasa kaldu sapi dan kaldu ayam. Meski disebut kaldu, ia tetap mengandung MSG, tak berbeda dengan vetsin biasa.

Sejumlah bahaya yang dikandung MSG hingga kini masih menjadi perdebatan. MSG dikatakan menjadi penyebab migrain, sulit bernafas, kerusakan retina, dan bahkan kanker. Yang jelas, bagi orang tertentu vetsin memang dapat mengganggu kesehatan.

Gejala umum yang biasa menyertai santapan bervetsin ialah leher dan dada panas, sesak napas, disertai pusing-pusing. Gejala ini sering disebut sebagai 'sindrom restoran Cina'. Menyantap 2 - 12 gram MSG sekali makan sudah bisa menimbulkan gejala ini. Gejala itu akan segera menghilang dua jam kemudian.

MSG,dapat menembus plasenta pada saat kehamilan, menembus jaringan penyaring antara darah otak, dan menyusup ke lima organ circumventricular. Pelindung darah otak yang terkontaminasi dapat mengakibatkan kelainan hati, trauma, hipertensi, stres, demam tinggi dan proses penuaan. MSG juga memicu reaksi gatal, bintik merah di kulit, mual, dan muntah sakit kepala, migren, asma, gangguan hati, ketidakmampuan belajar dan depresi.
Penggunaan MSG lebih berisiko pada bayi dan anak-anak.

Sejumlah tujuh makanan ringan dalam kemasan (snack) yang biasa dikonsumsi anak-anak tidak mencantumkan kandungan MSG (vetsin) yang diyakini bila MSG dikonsumsi dalam jumlah tertentu mengancam kesehatan anak.

Nurhasan dari (Public Interest Research and Advocacy Center-PIRAC) di Jakarta, Kamis, mengatakan pihaknya sudah meneliti 13 contoh makanan ringan yang beredar luas.

Dari 13, tujuh diantaranya mengandung Mono Sodium Glutamate--MSG tetapi tidak mencantumkannya dalam kemasan, empat produk menyatakan mengandung penyedap dan penambah rasa tetapi tidak menyebutkan mengandung MSG dan dua produk mencantumkan MSG namun tidak menyebut jumlah kandungannya.

Ketujuh produk tersebut adalah Cheetos (1,20 persen), Chitato rasa sapi panggang (1,06), Chiki rasa keju (0,76), HappytosTorpilachips (0,71), Golden Horn rasa keju (0,46), Smax rasa ayam (0,57), dan Taro Snack rasa rumput laut (0,62).

Keempat produk yang menyatakan mengandung penyedap dan penambah rasa tetapi tidak menyebutkan mengandung MSG adalah Zetz rasa ayam bumbu mamamia (0,50), Twistko rasa jagung barbeque (1,59), Double Decker Snack ayam (0,48) dan Twistee Corn (0,47). Keempat produk itu dinilai dianggap menyesatkan karena menyebutkan mengandung penyedap rasa tetapi tidak menyebutkan mengandung MSG.

Dua produk yang mencantumkan MSG tetapi tidak menyebutkan jumlah kandungannya adalah Gemez rasa ayam panggang (0,59) dan Anak Mas rasa keju (0,52).

Zat Pengganti Formalin dan Boraks

Salah satu pengganti formalin, yaitu natrium benzoat. Adapun untuk mengganti boraks sebagai pengenyal dan pengawet makanan bisa digunakan kalsium klorida.

Natrium benzoat populer digunakan pada minuman ringan dan sirup. Pada industri makanan, seperti tahu dan mi, zat kimia ini aman digunakan dalam takaran yang tidak berlebihan.

Natrium benzoat untuk pengawet makanan maksimal 1 gram per satu kilogram atau satu liter air. Jika berlebihan bisa mengundang alergi pada penderita asma dan menyebabkan hiperaktif pada anak yang mengonsumsi. Jika sesuai takaran tidak berefek.

Takaran dari kalsium klorida (CaCl) sebagai pengenyal dan pengawet makanan berkisar 1-5 gram per satu kilogram atau satu liter air. Tak ada efek samping, jika berlebihan terasa pahit.

Tidak Semua Pengawet Berbahaya


Ribut-ribut soal bahan pengawet sepertinya selalu awet. Belum reda isu penggunaan formalin, kita dikejutkan lagi dengan penarikan beberapa produk minuman yang melanggar aturan tentang pengawet.


Tapi pada saat yang sama, produsen minuman gencar beriklan produknya aman. Lalu seperti biasa, yang dibuat bingung kita-kita ini sebagai konsumen

Ketika ribut-ribut soal pemakaian formalin pada makanan, semua orang sepakat: formalin berbahaya bagi kesehatan, titik. Bahayanya tidak diragukan lagi. Tidak ada yang menyangkal. Kalaupun ada perbedaan pendapat, itu hanya perkara tingkat bahayanya. Semua setuju formalin sama sekali tidak boleh dipakai sebagai pengawet makanan, berapa pun kadarnya dan apa pun alasannya.

Namun, pada kasus yang terjadi Desember 2006, ketika beberapa produk minuman kemasan ditarik dari pasaran, pendapat masyarakat tidak lagi seragam. Sebagian kalangan berpendapat, pengawet yang diributkan itu (natrium benzoat dan kalium sorbat) berbahaya bagi kesehatan jika diminum terus-menerus. Sebagian lagi berpendapat, kedua jenis pengawet itu aman dikonsumsi asalkan tidak melampaui batas maksimal yang ditetapkan.

Pendapat pertama diwakili oleh Komite Masyarakat Antibahan Pengawet (Kombet), lembaga swadaya masyarakat yang melaporkan penemuan tentang pelanggaran itu. Dalam siaran persnya Kombet bahkan menyatakan, kedua jenis pengawet itu dalam jangka panjang bisa menyebabkan systemic lupus erythematosus (SLE), penyakit yang menyerang kekebalan tubuh.

Tak ayal siaran pers Kombet ini langsung dibalas dengan siaran pers tandingan. Media massa seolah menjadi ring tinju. Tak kurang, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia serta Badan Pengawas Obat dan Makanan sampai perlu turun tangan memberi klarifikasi. Intinya, beberapa produk minuman kemasan memang melanggar aturan pelabelan dan karenanya harus ditarik dari pasaran. Meski demikian, tidak berarti produk-produk itu berbahaya jika dikonsumsi.

Aman asal taan ADI

Pengawet, seperti namanya, berfungsi membuat makanan atau minuman lebih awet sehingga punya daya simpan lebih lama. Nyaris semua produk makanan atau minuman kemasan mengandung bahan ini. Kecuali masyarakat suku pedalaman yang masih hidup dari berburu dan bercocok tanam, rasanya hampir semua orang pernah mengonsumsi pengawet. Entah dari minuman atau makanan kemasan.

Secara garis besar, pengawet dibedakan menjadi dua kelas: food grade dan non-food grade. Contoh paling gampang dari kelas food grade adalah dua pengawet yang bulan Desember 2006 diributkan, yaitu natrium benzoat dan kalium sorbat. Sementara contoh pengawet kelas non-food grade adalah formalin dan boraks, yang diributkan lebih dulu.

Selain keempat contoh pengawet di atas, sebetulnya masih banyak lagi jenis pengawet lainnya. Dari golongan pengawet food grade, masih ada propionat, sulfur dioksida, bisulfit, metabisulfit, nitrat, nitrit, dan parahidroksi benzoat. Sementara dari kelas non-food grade masih ada nitrofurazon, salisilat, dietilpirokarbonat, klorat, dan dulcin. Nama-nama ini mungkin terdengar asing bagi kebanyakan orang awam karena memang jarang disebut-sebut di teve.

Dalam ilmu pangan, pengawet golongan pertama (yang aman dipakai), biasa digolongkan sebagai generally recognized as safe (GRAS). Dalam bahasa sehari-hari, jenis pengawet ini kadang disebut sebagai pengawet makanan yang diizinkan. Sedangkan kelompok kedua disebut pengawet makanan yang tidak diizinkan.

Satu pengawet kadang muncul dengan beberapa nama. Sekadar contoh, pengawet benzoat kadang muncul dengan nama natrium benzoat, kadang sodium benzoat. Pengawet sorbat kadang ditulis sebagai kalium sorbat, kadang potassium sorbat.

Sebetulnya, nama-nama itu mengacu pada satu senyawa. Natrium bersinonim dengan sodium. Jadi, natrium benzoat sama saja dengan sodium benzoat. Begitu pula, kalium dan potasium itu setali tiga uang. Dengan kata lain, potasium sorbat itu sami mawon dengan kalium sorbat. Kadang kedua pengawet ini juga disebut sebagai asam benzoat dan asam sorbat. Penyebutan ini pun hanya untuk membedakan bentuk benzoat dan sorbat yang dipakai di dalam produk. Intinya sama-sama benzoat atau sorbat.

Sesuai kelompoknya, pengawet non-food grade sama sekali tidak boleh digunakan di dalam makanan dan minuman. Apa pun tujuannya, tahu tak boleh mengandung formalin, bakso tak boleh berisi boraks. Yang boleh dipakai hanya pengawet food grade. Itu pun harus mengikuti aturan tentang takaran maksimal.

Sebagai contoh, dosis maksimal benzoat 0,1%. Artinya, tiap kg produk tidak boleh mengandung asam benzoat lebih dari 1 g. "Asalkan batas maksimum ini tidak dilampaui, benzoat aman dikonsumsi," jamin Prof. Dr. Made Astawan, ahli teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor. Masalah kesehatan baru akan timbul kalau dosisnya melampaui batas maksimum ini. Pada kasus penarikan produk minuman dalam kemasan Desember 2006, tidak ada satu pun produk yang melanggar aturan ini.

Penentuan besarnya angka ini didasarkan pada konsep yang disebut acceptable daily intake (ADI). Konsep ini juga berlaku untuk bahan-bahan tambahan pangan lainnya macam pemanis, pewarna, penyedap rasa, dan sebangsanya. Biasanya, kita bisa menemukan informasi besarnya ADI di kemasan produk makanan atau minuman yang bersangkutan.

ADI itu jumlah maksimal suatu bahan tambahan yang bisa dikonsumsi setiap hari tanpa menimbulkan risiko kesehatan yang berarti. Dengan kata lain, asalkan tidak melampaui ADI-nya, bahan tambahan pangan seperti pengawet benzoat dan sorbat itu aman dikonsumsi. Tak perlu khawatir.

Ada di rempah dan buah

Lalu siapa yang berhak mengatakan aman dan tidak? Untuk urusan yang satu ini, dengan segala hormat, kita harus mempercayakannya kepada badan-badan resmi yang diakui secara internasional.

Di tingkat dunia, otoritas tertinggi ada di tangan World Health Organization (WHO). Sejauh ini, WHO menjamin natrium benzoat dan kalium sorbat aman dikonsumsi. Tak hanya WHO, jaminan ini juga diberikan oleh lembaga-lembaga internasional lain seperti Codex Alimentarus Commission (CAC), The Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA), serta US Food and Drug Administration (FDA). Menurut Made Astawan, semua lembaga ini merupakan tempat rujukan utama dalam perkara yang menyangkut bahan tambahan pangan.

Di Indonesia, otoritas tertinggi dipegang Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Pada kasus Desember lalu, Badan POM secara tegas mengeluarkan surat edaran yang menerangkan bahwa kedua jenis pengawet itu aman dikonsumsi. Keduanya sudah puluhan tahun dipakai sebagai pengawet di seluruh dunia. Kedua senyawa ini juga terdapat secara alami di dalam buah dan rempah tertentu yang biasa dikonsumsi manusia. Made Astawan memberi contoh, asam benzoat bisa ditemukan di dalam cengkih, kayumanis, dan beberapa buah berry tertentu. Itu sebabnya secara alami masakan yang kaya rempah biasanya lebih awet daripada yang tidak.

Di dalam tubuh, asam benzoat akan dimetabolisme di dalam liver. Pada organ ini, asam benzoat bereaksi dengan asam amino glisin, membentuk asam hipurat. Selanjutnya, produk asam hipurat ini dikeluarkan lewat urine. Mekanisme ini bisa mengeluarkan 66 - 95% benzoat dari dalam tubuh. Sisa benzoat yang masih tertinggal akan dimetabolisme dengan bantuan asam glukoronat. Lewat dua jalur metabolisme ini, benzoat dikeluarkan dari dalam tubuh. Sepanjang tidak ada gangguan liver, benzoat tidak akan terakumulasi.

Hingga sekarang belum ada penelitian ilmiah yang bisa menggugurkan data keamanan benzoat maupun sorbat. Kedua pengawet itu masih masuk kategori GRAS. Kalaupun ada kecurigaan bahwa kedua jenis ini berbahaya buat kesehatan, itu masih sebatas dugaan.

Tentang kasus penarikan produk minuman kemasan bulan Desember 2006, penyebabnya bukan karena pemakaian pengawet yang tidak diizinkan. Pelanggaran bukan pada pemilihan jenis pengawet, tapi pada pelabelan. Produk-produk yang ditarik itu nyata dan terang benderang membohongi konsumen karena tidak mencantumkan pengawet yang digunakan dalam produk mereka. Sebagian produk sama sekali tidak mencantumkan nama pengawet, padahal di dalamnya terdapat bahan tambahan ini. Sebagian lagi hanya mencantumkan satu nama padahal sebetulnya mengandung dua macam pengawet.

Karena pemakaian jenis pengawet maupun dosisnya tidak melanggar aturan, maka produsen produk-produk itu hanya dijerat pasal pelabelan. Badan POM hanya memerintahkan produk-produk itu ditarik dari pasaran. Meski begitu, minuman-minuman itu tetap aman dikonsumsi. Bagi awam, keterangan ini sekilas tampak membingungkan. Logikanya, kalau tidak berbahaya, kenapa harus ditarik dari peredaran? Di sinilah perlunya konsumen memahami batas. Pelanggaran pelabelan adalah satu hal. Sementara keamanan jenis pengawet adalah hal lain. Keduanya tidak boleh dikacaukan.

Bagaimanapun, temuan Kombet itu sebuah upaya perlindungan konsumen. Tapi kalau urusannya sudah menyangkut aman tidaknya pengawet, tentu ada pihak lain yang lebih berkompeten.

Hingga sekarang keamanan benzoat, sorbat, dan bahan pengawet food grade lainnya masih belum terbantahkan. Suka atau tidak, inilah pendapat yang paling kuat jika ukuran yang dipakai adalah kaidah penelitian limiah.

Meski begitu, tak sedikit kalangan yang menganggap, konsumsi bahan-bahan tambahan ini dalam jangka panjang bisa berbahaya bagi kesehatan. Setidaknya, ini terlihat dari kasus penarikan produk minuman kemasan tiga bulan lalu itu. Produk-produk yang ditarik tidak mencantumkan pengawet atau hanya mencantumkan satu nama meskipun sebetulnya memakai dua pengawet. Pada saat yang sama, sebagian produsen gencar mempromosikan produknya yang bebas pengawet. Itu menunjukkan, masyarakat percaya klaim "tanpa pengawet" biasanya identik dengan "lebih aman" dari sisi kesehatan.

Terlepas dari benar tidaknya pandangan itu, adalah hak setiap orang untuk menghindari konsumsi bahan tertentu. Konsumen berhak tahu apa yang ia beli dan ia konsumsi. Produsen pun wajib menginformasikan segala bahan yang ada di dalam makanan atau minuman yang ia buat dan jual.


Sumber : IDI
Minuman Ringan, Di Balik Kenikmatannya Ada Bencana ...
Oleh Kompas Cyber Media

Siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Kata-kata tersebut pernah menjadi iklan sebuah perusahaan minuman ringan.
Bukan ngecap, penjajahan minuman ringan memang terjadi di seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia. Dampak negatifnya pun muncul, yakni salah satu penyebab penyakit degeneratif.


Sejak penemuan minuman ringan di Amerika Serikat pada tahun 1830, konsumsinya terus meningkat secara tajam dan konstan dari tahun ke tahun. Peningkatan konsumsi ini tidak hanya berlaku di AS, tetapi juga di negara-negara lain di seluruh belahan dunia.


Pada tahun 1986, konsumsi minuman ringan per kapita per tahun di Amerika Serikat telah mencapai 28 galon dan meningkat menjadi 41 galon pada tahun 1997. Pada tahun 1997, persentase konsumen minuman ringan di Amerika Serikat adalah 74 persen dari populasi anak laki-laki dan 64 persen anak perempuan.


Pada tahun-tahun belakangan ini, persentase tersebut tentu saja kian membengkak seiring dengan perubahan pola makan, khususnya di kalangan masyarakat perkotaan.


Produksi minuman ringan terbukti telah menghasilkan keuntungan yang sangat besar, sehingga sering disebut sebagai emas cair (liquid gold).


Di sisi lain, peningkatan konsumsi minuman ringan di seluruh dunia telah menimbulkan kecemasan yang luar biasa di kalangan dunia kesehatan. Banyak penelitian yang telah membuktikan dampak negatif minuman ringan bagi kesehatan tubuh manusia.


Edukasi gencar harus segera dilakukan kepada masyarakat, seperti yang telah dilakukan oleh para praktisi kesehatan di AS.


Sebenarnya apakah minuman ringan itu? Mengapa banyak sekali yang suka, sehingga jumlah konsumsmnya selalu meningkat dari tahun ke tahun? Sebenarnya apa yang terkandung dalam minuman ringan? Apakah benar dampak terhadap kesehatannya demikian tidak menguntungkan?


Minuman Bersoda

Minuman ringan diartikan sebagai minuman berkarbonasi. Karbonasi merupakan proses penginjeksian gas-gas CO2 (karbon dioksida) ke dalam minuman sehingga memiliki penampakan bergelembung-gelembung yang memberi kesan segar.
Gelembung-gelembung CO2 tersebut juga memberi efek kepuasan yang sangat khas apabila dikonsumsi,yaitu rasa menggigit di lidah.


Dalam bahasa sehari-hari, minuman ringan sering juga disebut sebagai minuman bersoda. Kemasan minuman bersoda umumnya kaleng atau botol, baik botol gelas maupun botol polietilen. Pemilihan kemasan didasarkan pada kemampuan dalam mencegah pelepasan CO2.


Fungsi mendasar minuman ringan tidak berbeda dengan minuman lain pada umumnya, yaitu untuk menghilangkan dahaga. Belakangan, karena harganya lebih mahal daripada air minumdalam kemasan atau minuman nonkarbonasi, terdapat anggapan bahwa mengonsumsi minuman ringan memiliki prestise tertentu.


Mengonsumsi minuman ringan juga menjadi kebiasaan yang dilakukan konsumen apabila sedang bersantap di luar rumah.


Manis dan Menyegarkan

Komposisi minuman ringan umumnya sangat sederhana, yaitu terdiri dari 90 persen air dan sisanya merupakan kombinasi dan pemanis buatan, gas C02, pencita rasa, pewarna, asam fosfat, kafein, dan beberapa mineral, terutama aluminium.

Hal yang paling mendasari kesukaan konsumen terhadap minuman ringan adalah rasanya yang manis dan efeknya yang menyegarkan.


Rasa manis selalu memiliki makna tersembunyi, yaitu kadar gula dan kandungan energi. Dampak bahan-bahan aditif juga harus diperhatikan. Di balik kesederhanaan komposisinya, banyak hal yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Dampak tersebut mungkin memang tidak seketika, tetapi akan dirasakan di masa mendatang apabila konsumsinya rutin dan berlebih.


Minuman ringan merupakan sumber tunggal penyumbang gula terbesar dalam susunan menu masyarakat Barat. Menurut Jacobson (2003), rasa manis yang terdapat di dalam sekaleng minuman ringan setara dengan tujuh sendok teh gula pasir.


Menurut survei tahun 1997, 44 persen populasi anak laki-laki di AS mengasup hampir 34 sendok teh gula setiap hari akibat konsumsi minuman ringan. Sebaliknya, 40 persen anak perempuan mengasup 24 sendok teh gula per harinya, juga karena konsumsi minuman ringan.


Bila dihitung sumbangan energinya, berarti seorang anak laki-laki mengonsumsi 2.750 kilo kalori per hari, sedangkan anak perempuan sekitar 1.850 kalori per hari hanya dari minuman ringan. Padahal, menurut USDA, konsumsi gula harian yang normal hanya memberikan energi sebesar 1.600 kilo kalori.


Penyumbang Energi

Seperti telah disebutkan sebelumnya, kadar gula dapat diasosiasikan dengan jumlah energi.

Minuman ringan yang manis dapat menjadi penyumbang energi yang sangat besar. Menurut USDA. pada tahun 2003 sekitar 5,6 persen energi yang dikonsumsi penduduk AS berasal dari minuman ringan.


Di AS, sekaleng minuman ringan menyumbang 9 persen dari kebutuhan energi harian anak laki-laki dan 8 persen kebutuhan energi harian anak perempuan.


Angka tersebut melonjak 2-3 kali lipat dibandingkan survei yang dilakukan pada tahun 1978.


Kembali dikatakan dalam survei, menurut Jacobson (2003), hanya 2 persen anak AS berusia 12-19 tahun yang mengonsumsi makanan sehat dengan kandungan gizi sesuai RDA (Recommended Dietary Allowances). Lalu, berapa persen anak sehat yang terdapat di Indonesia? Sungguh fakta yang sangat mengerikan untuk dibayangkan.


Dalam hasil survei dikatakan bahwa hanya sekitar 33 persen anak AS mengonsumsi makanan lengkap dalam jumlah yang disarankan RDA. Sekitar 15 persen mengonsumsi cukup buah, 10 persen cukup susu, dan sebagian besar tidak mengasup protein yang cukup sesuai RDA.


Demikian pula halnya dengan konsumsi komponen gizi mikro. Hanya 36 persen anak laki-laki dan 14 persen anak perempuan yang mengonsumsi kalsium sesuai RDA, sekitar 30 persen yang memenuhi RDA vitamin A dan hanya sekitar 20 persen yang memenuhi RDA magnesium.


Fakta-fakta tersebut banyak dipacu oleh tingginya konsumsi minuman ringan. Anak-anak AS mengonsumsi minuman ringan satu setengah kali lebih banyak daripada susu.


Biang Keladi Osteoporosis, Sampai Penyakit Jantung

Komposisi minuman ringan telah menimbulkan banyak pertanyaan tentang dampak kesehatan masyarakat di masa mendatang.

Beberapa penelitian menunjukkan, minuman ringan merupakan biang keladi dari obesitas, osteoporosis, kerusakan gigi, penyakit jantung, batu ginjal, dan berbagai penyakit lainnya.


Obesitas

Obesitas merupakan penyakit kelebihan berat badan minimal 75 persen dari berat ideal. Obesitas merupakan faktor utama penyebab meningkatnya risiko diabetes, terutama diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular.


Kegemukan yang berlebih juga mendatangkan penyakit psikologis dan sosial yang cukup parah. Penyebab utama obesitas adalah konsumsi makanan yang berlebihan, tanpa diimbangi aktivitas fisik dan olahraga. Konsumsi makanan yang berlebihan menyumbangkan banyak sekali energi (yang tidak berguna) ke dalam tubuh. Penyebab obesitas lainnya adalah karena keturunan (genetik).


Minuman ringan yang manis menyumbang sejumlah energi yang tidak dibutuhkan tubuh. Minuman ringan bertanggung jawab terhadap kelebihan asupan energi yang dapat menyebabkan obesitas.


Sebuah penelitian menyebutkan, risiko obesitas yang dihasilkan minuman ringan lebih banyak menyerang anak-anak dan remaja, terutama laki-laki, daripada orang dewasa.


Kesehatan Tulang dan Osteoporosis

Kebiasaan mengonsumsi minuman ringan menyebabkan jumlah konsumsi jenis minuman lainnya menurun, seperti konsumsi air dan susu. Hal ini menyebabkan konsumen minuman ringan kurang mendapat asupan kalsium.

Asupan kalsium yang rendah dapat menyebabkan dekalsifikasi tulang, tulang rapuh, dan akhirnya dapat berkembang menjadi osteoporosis. Hal ini sangat mengkhawatirkan, terutama bagi kaum wanita, karena apabila konsumen minuman ringan wanita memasuki masa menopause, asupan kalsium menjadi minim sekali. Kondisi ini dapat memacu terjadinya osteoporosis dalam waktu lebih cepat (Jacobson, 2003).


Namun, minuman ringan tidak selalu menyababkan osteoporosis. Terdapat berbagai faktor dan mekanisme yang melatarbelakangi terjadinya osteoporosis. Risiko osteoporosis berkebalikan dengan kekuatan massa tulang yang telah terbentuk sebelum seseorang menjadi konsumen minuman ringan.


Masa pertumbuhan dan penyempurnaan tulang pada remaja perempuan adalah saat berusia sekitar 18 tahun. Saat itu massa tubuhnya telah terbentuk sekitar 92 persen. Apabila sesorang menjadi konsumen minuman ringan sejak masih anak-anak, asupan kalsiumnya akan menjadi rendah sehingga pembentukan tulangnya tidak optimal.


Penelitian lain juga menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara tingginya jumlah konsumen minuman ringan di kalangan anak-anak dengan jumlah kasus patah tulang pada anak-anak. Sebagian besar kasus pada tulang pada anak-anak usia 3 hingga 1 tahun merupakan akibat rapuhnya massa tulang yang merupakan akibat dan rendahnya asupan kalsium dari pangan (Jacobson, 2003).


Mekanisme pemunculan osteoporosis disebabkan oleh terganggunya keseimbangan kalsium dan fosfor di dalam tubuh (rasio Ca:P). Rasio Ca:P normal dalam tubuh adalah 2:1. Dalam kondisi rasio yang ideal ini, penyerapan terhadap kalsium menjadi optimal. Penyerapan kalsium

yang cukup sangat dibutuhkan dalam memelihara massa tulang pencegahan osteoporosis, menormalkan tekanan darah, dan mencegah hiperparatiroidisme.


Minuman ringan yang memiliki kadar asam fosfat tinggi menyebabkan peningkatan asupan fosfor dalam tubuh. Hal ini menyebabkan terganggunya keseimbangan rasio Ca:P yang berakibat pada

terhambatnya penyerapan kalsium yang berdampak terhadap penurunan massa tulang dan akhirnya osteoporosis.


Kafein yang terkandung dalam minuman ringan dapat memacu pembuangan kalsium melalui urin. Hal ini pulalah makin mendukung rendahnya asupan kalsium pada konsumen minuman ringan (Jacobson, 2003; Field, 2003).


Kerusakan Gigi

Gula pasir yang telah dimurnikan memegang banyak peran dalam menyebabkan kerusakan gigi.

Konsumen minuman ringan selalu mengekspos gigi mereka dengan gula yang berasal dari minuman ringan sepanjang hari.


Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1974, menemukan korelasi positif antara frekuensi konsumsi minuman ringan dengan tingkat keparahan kerusakan gigi, terutama pada anak-anak.


Penemuan ini cukup mencengangkan karena para peneliti juga telah memperhitungkan konsumsi makanan manis lainnya, tetapi tetap menemukan bahwa minuman ringanlah yang paling banyak berkontribusi dalam menyebabkan kerusakan gigi (Jacobson, 2003).


Penelitian tersebut ternyata masih berdampak pada anak-anak pada masa tahun 1990-an. Anak-anak yang disurvei pada tahun 1974 telah menjadi orangtua pada masa tahun 1990-an.


Meskipun pada masa ini telah terdapat pasta gigi berfuoride atau air mineral yang mengandung fluoride, ternyata edukasi mengenal pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mencegah kerusakan gigi pada anak-anak masih sangat kurang.


Hal ini diduga karena orangtua memang kurang menyadari penyebab utama dari kerusakan gigi mereka pada masa anak-anak dahulu.


The Canadian Soft Drink Association telah menerbitkan serangkaian rekomendasi dalam upaya menjaga kesehatan gigi. Beberapa di antaranya adalah membatas konsumsi makanan manis atau makanan ringan di sela-sela waktu makan besar dan jangan membiarkan makanan manis terlalu lama berada di dalam mulut.


Penyakit Jantung

Penyakit jantung banyak menduduki peringkat pertama dalam urutan penyebab kematian di banyak negara di dunia.

Penyebab utama terjadinya penyakit jantung atau penyakit kardiovaskular lainnya adalah konsumsi makanan yang tinggi kolesterol dan lemak jenuh, merokok, dan gaya hidup santai dengan aktivitas fisik yang minimal.


Penyebab lainnya yang berisiko sangat besar pada orang dewasa adalah konsumsi gula berlebih.


Pola makan tinggi gula dapat menyebabkan penyakit jantung pada penderita insulin resisten. Golongan ini memiliki populasi seperempat dari jumlah orang dewasa di AS. Para penderita insulin resisten memiliki kadar trigliserida darah yang tinggi dan kadar HDL yang rendah. Apabila konsumsi makanan berkarbohidrat tinggi, kadar trigliserida dan kadar insulin darah mereka akan meningkat.


Gula hasil penguraian karbohidrat akan dengan segera meningkatkan kadar trigliserida darah. Tingginya kadar trigliserida darah kemudian diasosiasikan dengan tingginya risiko terserang penyakit jantung.


Batu Ginjal

Penyakit batu ginjal merupakan penyakit yang paling umum terjadi dalam saluran kemih dan merupakan salah satu dan sekelompok penyakit dengan rasa nyeri terbesar.

Batu ginjal merupakan kondisi terdapatnya kristal kalsium dalam ginjal. Kristal tersebut dapat berupa kalsium oksalat, kalsium fosfat, maupun kalsium sitrat.


Sekitar 10 persen dari penduduk AS pernah memiliki batu ginjal. Penelitian menemukan bahwa risiko munculnya batu ginjal sejalan dengan kandungan asam fosfat dalam minuman ringan (Jacobson, 2003).


Mekanisme pemunculan batu ginjal sangat sejalan dengan mekanisme pemunculan osteoporosis. Gangguan keseimbangan rasio Ca:P menyebabkan penyerapan kalsium menjadi terhambat dan menyebabkan kalsium menjadi tidak larut. Akibatnya, kalsium mengendap di ginjal dalam bentuk kristal kompleks.


Endapan kristal inilah yang lama-kelamaan membesar dan menjelma menjadi batu ginjal.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...